Terakhir, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakayat (PUPR) melalui Peraturan Menteri PUPR No.16/PRT/M/2017 tentang Transaksi Tol Nontunai di Jalan Tol, dalam Pasal 6 ayat (1) A menetapkan penerapan transaksi jalan tol non tunai atau yang dikenal dengan Gerbang Tol Otomatis (GTO) sepenuhnya di seluruh jalan tol sejak 31 Oktober mendatang.
Apa sajakah Dampak dari aturan baru kebijakan penggunaan e-toll di Gerbang Toll Otomatis (GTO) ?
1. Dari Segi Sosial
Dampak dari diberlakukan kebijakan penggunaan e-toll GTO yang paling mungkin dirasakan mungkin dari segi sosial, yaitu dari sisi internal. Karena dari sebelumnya gerbang tol konvensional menggunakan tenaga pekerja untuk melayani pengendara mobil yang ingin masuk ke jalan tol, kemudian digantikan oleh mesin, hal tersebut dikhawatirkan berdampak pada pemutusan hubungan secara besar-besaran, untuk diketahui saat ini terdapat kurang lebih 10.000 orang karyawan jalan tol, khusus jasa marga.
Jasa Marga kepada karyawannya sebagai dampak diterapkannya Permen PUPR No.16 Tahun 2017, hanya menyiapkan porsi 900 orang karyawan yang akan dikelola melalui program Alih Profesi (A-Life).
Sementara di luar jumlah itu, diperkenankan
untuk memilih jalur entrepreneur yang telah disediakan oleh Jasa Marga Program
sebanyak 100 outlet dan sisanya lewat jalur mandiri. “Lalu pertanyaannya yang
ribuan itu ke mana? Itu hanya di Jasa Marga, sedangkan yang di swasta
bagaimana? Dia PHK nantinya,” Saat ini terdapat 11 perusahaan pengelola jalan tol selain Jasa Marga. Kebanyakan karyawan di perushaaan pengelola jalan tol swasta
tersebut adalah tenaga kontrak sehingga kapanpun bisa langsung dikenai
pemutusan hubungan kerja dan tidak ada perlawanan.
2. Dari Segi Ekonomi
Setiap tahun rata-rata pengguna uang
elektronik sebanyak 18 juta dengan menggunakan instrumen berupa kartu. Dengan
menggunakan asumsi yang ada selama ini, untuk memperoleh satu unit kartu e-Money masyarakat
diharuskan membeli dengan harga Rp50 ribu. Proporsi pembagiannya adalah Rp20
ribu masuk ke Bank dan Rp30 ribu menjadi saldo yang akan digunakan oleh
masyarakat dalam transaksinya.
18 juta rata-rata per tahun dikalikan Rp20 ribu,
hasilnya Rp360 miliar per tahun masuk ke kantong perbankan yang
menerbitkan e-Money. Itu masih dari (pembelian) kartu perdana. Dengan asumsi sebulan sekali masyarakat
melakukan isi ulang kartu e-Money. Angka tersebut jika
dikalikan 12 bulan tiap tahunnya, kurang lebih Rp1,24 triliun yang masuk ke
kantong jasa keuangan. Saat ini terdapat 11 Bank yang menerbitkan e-Money.
Seperti ada monopoli yang dilakukan oleh Perusahaan Perbankan, sebab e-Commerce yang saat ini sedang berkembang seperti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, dll tidak diperkenankan untuk ikut peran menyediakan e-money tersebut.
3. Dari Segi Budaya
Dari setiap penerapan aturan baru, sepertinya hal ini pengenalan dan pemahaman dari aturan tersebut adalah hal sangat sulit. Sebetulnya wacana penggunaan E-Toll sudah diperkenalkan sejak tahun 2011, namun pemerintah baru mewajibkan seluruh pengguna jalan tol memakai E-Toll di akhir Oktober 2017, pada uji coba misalnya, banyak masyarakat awam yang masih menggunakan uang tunai untuk melakukan transaksi padahal sudah tertera bahwa di pintu tol hanya menerima GTO, tak ayal banyak kasus yang viral, salah satunya yaitu perdebatan antara pengendara dengan penjaga pintu tol terkait hal tersebut. Rakyat Indonesia sepertinya masih harus 'dipaksa' untuk menerima budaya baru, yang mungkin ada baik dan buruknya, seperti penerapan E-Toll GTO ini.
4. Dari Segi Politik
Bagian upaya implementasi Gerakan Nasional Non-TunaiYup. GTO menjadi salah satu upaya pemerintah mendorong transaksi non-tunai, yang targetnya harus terlaksana 100% pada akhir tahun 2017. Pada akhir tahun 2016 lalu, tercatat baru ada sekitar 500an GTO yang dioperasikan di seluruh Indonesia. Secara bertahap, semua gardu manual pun akan digantikan dengan GTO pada 2018 kelak. Hal ini dapat dijadikan bahan 'pencitraan' oleh Pemerintah yang menjalankan aturan ini, seperti proyek Bus TransJakarta pada pertengahan tahun 2000-an lalu, GTO diharapkan sukses dan dapat menjadi bahan pendongkrak elektabilitas pemerintahan saat ini.
5. Dari Segi Hukum
Setiap ada peraturan baru, pastinya ada yang Pro dan Kontran terhadap aturan tersebut, ada sejumlah warga mengajukan hak uji materiil Peraturan Bank
Indonesia (PBI) terkait uang elektronik (e-Money) ke Mahkamah Agung
(MA). Mereka meminta MA menyatakan aturan tersebut tidak berlaku lantaran
melarang warga melakukan bertransaksi secara tunai.
Kuasa hukum pemohon dari Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA),
Azas Tigor Nainggolan, menilaiPBI Nomor 16/8/PBI/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank
Indonesia Nomor 11/12/PBI/2009 tentang Uang Elektronik (Electronic Money)
bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, yang secara tidak
langsung dapat diartikan praktik penggunaan uang elektronik ilegal.
Azas menyebut, penolakan terhadap transaksi tunai adalah
sebuah pembangkangan terhadap undang-undang. Untuk itu, warga sangat
membutuhkan penjelasan agar adanya kepastian hukum terhadap hal–hal tersebut
dan tidak adanya diskriminasi terhadap masyarakat pengguna rupiah kertas maupun
logam dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran.
Sekadar catatan, 23 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah.
Sekadar catatan, 23 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (2) UU Mata Uang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah.
Pasal
23 ayat (1):
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.
Pasal
33 ayat (2):
Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya diilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
Lalu, bagaimana solusinya?
Setiap aturan yang dibuat tentu untuk mempermudah masyarakat dalam melakukan aktivitasnya, dan setiap aturan baru pasti ada pro dan kontra yang mendera. Menurut pandangan saya, solusi yang terbaik tentu sebagai pembuat aturan, pemerintah wajib melakukan kontrol dan mengevaluasi terhadap sistem yang sedang berjalan, pihak penyedia tol harus memaksimalkan fasilitas dan inovasi kemudahan dalam penerapan GTO sehingga masyarakat pengguna GTO dapat menikmati manfaatnya.
Sekian dan terima kasih :)
Referensi:
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59eeee27121aa/menelaah-dampak-kebijakan-transaksi-non-tunai
https://www.kompasiana.com/huriahrachmah/gto-alias-gardu-tol-otomatis_559f5357d87a61e0058b4568
Tidak ada komentar:
Posting Komentar